Tasawuf yang
kita temui dalam khazanah dunia Islam, dari sumber-sumber perkembangannya,
ternyata memunculkan pro dan kontra, baik dikalangan muslim maupun dikalangan
non-muslim. Mereka yang menganggap bahwa tasawuf Islam merupakan sebuah paham
yang bersumber dari agama-agama lain.
Selanjutnya,
ada beberapa pandangan tentang asal-usul tasawuf dalam konteks
kebudayaan-kebudayaan luar Islam tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk melihat
apakah tasawuf yang ada didunia Islam benar-benar terpengaruh oleh konteks
kebudayaan tersebut atau tidak.
a.
Unsur-unsur Nasrani (Kristen)
Pertama,
adanya interaksi antara orang Arab dan kaum Nasrani pada masa Jahiliah maupun
zaman Islam. Kedua, adanya segi-segi kesamaan antara kehidupan para asketis
atau sufi dalam hal ajaran cara mereka melatih jiwa (riyadhah) dan mengasingkan
diri (khalwat) dengan kehidupan Al-Masih dan ajaran-ajarannya, serta dengan
para rahib ketika sembahyang dan berpakaian.
Von Kromyer berpendapat bahwa tasawuf merupakan buah kenasranian pada zaman jahiliah. Sementara itu, Goldziher berpendapat bahwa sikap fakir dalam Islam merupakan pengaruh dari agama Nasrani. Goldziher membagi tasawuf menjadi dua: Pertama, asketisme. Menurutnya, sekalipun telah terpengaruh oleh kependetaan Kristen, aliran ini, lebih mengakar pada semangat Islam dan para Ahli Sunnah. Kedua, tasawuf dalam arti lebih jauh lagi, seperti pengenalan kepada Tuhan (Ma’rifat), pendakian batin (hal), intuisi (wijdah), dan rasa (dzauq), yang terpengaruh oleh agama Hindu disamping Neo-Platonisme.
Von Kromyer berpendapat bahwa tasawuf merupakan buah kenasranian pada zaman jahiliah. Sementara itu, Goldziher berpendapat bahwa sikap fakir dalam Islam merupakan pengaruh dari agama Nasrani. Goldziher membagi tasawuf menjadi dua: Pertama, asketisme. Menurutnya, sekalipun telah terpengaruh oleh kependetaan Kristen, aliran ini, lebih mengakar pada semangat Islam dan para Ahli Sunnah. Kedua, tasawuf dalam arti lebih jauh lagi, seperti pengenalan kepada Tuhan (Ma’rifat), pendakian batin (hal), intuisi (wijdah), dan rasa (dzauq), yang terpengaruh oleh agama Hindu disamping Neo-Platonisme.
Abu Bakar
Aceh, sebagaimana dikutip Abdul Qadir Zaelani, pernah menulis bahwa agama
Yahudi dan agama Kristen mempengaruhi pula cara berfikir dalam Islam.
Pokok-pokok
ajaran tasawuf yang diklaim berasal dari agama Nasrani antara lain adalah:
1.
Sikap fakir. Al-Masih adalah fakir. Injil
disampaikan kepada orang fakir sebagaimana kata Isa dalam Injil Matius,
“Berntunglah kamu orang-orang miskin karena bagi kamulah kerajaan Allah…
Beruntunglah kamu orang yang lapar karena kamu akan kenyang.”
2.
Tawakal kepada Allah dalam soal penghidupan.
Para pendeta telah mengamalkan dalam sejarah hidupnya, sebagaimana dikatan
dalam Injil, “Perhatikan burung-burung dilangit, dia tidak menanam, dia tidak
mengetam dan tidak duka cita pada waktu susah. Bapak kamu dari langit memberi
kekutan kepadanya. Bukankah kamu lebih mulia daripada burung?”
3.
Peranan Syeikh yang menyerupai pendeta.
Perbedaanya pendeta dapat menghapuskan dosa.
4.
Selibasi, yaitu menahan diri tidak menikah
karena menikah dianggap dapat mengalihkan diri dari Tuhan.
5.
Penyaksian, bahwa syufi menyaksikan hakikat
Allah dan mengadakan hubungan dengan Allah. Injil pun telah menerangkan
terjadinya hubungan langsung dengan Tuhan.
b.
Unsur Hindu Buddha
Tasawuf
dan kepercayaan agama Hindu memiliki persamaan, seperti sikap fakir. Pada
paham reinkarnasi (perpindahan roh dari satu badan kebadan lain), cara
pelepasan dari dunia versi Hindu-Budha dengan persatuan diri dengan jalan
mengingat Allah.
Salah satu
maqamat syufiyah, yaitu al-Fana memiliki persamaan dengan ajaran tentang
nirwana dalam agama Hindu. Menurut Harun Nasution, ajaran nirwana agama Budha
mengajarkan umatnya untuk meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplatif.
Paham fana’ yang terdapat dalam sufisme hamper serupa dengan paham nirwana.
Goldziher
mengatakan bahwa ada hubungan persamaan antara tokoh Budha Sidharta Gautama
dengan Ibrahim bin Adham, tokoh syufi yang muncul dalam sejarah umat Islam
sebagai seorang putra mahkota dari Balkh yang kemudian mencampakkan mahkotanya
dan hidup sebagai darwish.
Qamar
Kailani dalam ulasannya tentang asal-usul tasawuf menolak pendapat mereka yang
mengatakan tasawuf berasal dari agama Hindu-Budha. Menurutnya, pendapat ini
terlalu ekstrim. Kalau diterima bahwa ajaran tasawuf itu berasal dari
Hindu-Budha, berarti pada zaman Nabi Muhammad telah berkembang ajaran
Hindu-Budha ke Mekkah. Padahal, sepanjang sejarah belum ada kesimpulan seperti
itu.
c.
Unsur Yunani
Kebudayaan
Yunani, seperti filsafat, telah masuk kedunia Islam pada akhir Daulah Umayyah
dan puncaknya pada masa Daulah Abbasyiah ketika berlangsung zaman penerjemahan
filsafat Yunani. Metode-metode berfikir filsafat ini juga turut mempengaruhi
pola pikir sebagian orang Islam yang ingin berhubungan dengan Tuhan. Pada
persoalan ini, boleh jadi tasawuf yang terkena pengaruh Yunani adalah tasawuf
yang kemudian diklasifikasikan sebagai tasawuf yang bercorak filsafat.
Mungkin saja
ajaran tasawuf itu dimasuki oleh paham pemikiran Yunani. Misalnya, perkataan,
“Apabila sudah baik, seseorang hanya memerlukan sedikit makan. Dan apabila sudah
baik, hati manusia hanya memerlukan sedikit hikmat.” Ahli-ahli sejarah, seperti
Syaufan menerangkan bahwa banyak bagian dari cerita “Seribu Satu Malam” berasal
dari Yahudi.
Selain itu, ada yang mengatakan bahwa masuknya filsafat kedunia Islam melalui mazhab peripatetic dan Neo-Platonisme. Mazhab yang pertama (peripatetic) kelihatannya lebih banyak masuk kedalam bentuk skolastisisme ortodoks (kalam), sedangkan untuk Neo-Platonisme lebih masuk kepada dunia tasawuf.
Selain itu, ada yang mengatakan bahwa masuknya filsafat kedunia Islam melalui mazhab peripatetic dan Neo-Platonisme. Mazhab yang pertama (peripatetic) kelihatannya lebih banyak masuk kedalam bentuk skolastisisme ortodoks (kalam), sedangkan untuk Neo-Platonisme lebih masuk kepada dunia tasawuf.
Filsafat
emanasinya plotinus yang mengatakan bahwa wujud ini memancarkan dari Dzat Tuhan
Yang Maha Esa menjadi salah satu dasar argumentasi para orientalis dalam
menyikapi asal-mula tasawuf di dunia Islam. Ketika ajaran Neo-Platonisme ini
berhasil menyusup kedalam tasawuf, hal yang pertama terjadi adalah penolakan
terhadap “keberbedaan” benda-benda (ghairiyat) dari Allah.
Al-Ghazali
menegaskan bahwa cahaya kenabian mustahil di dapat oleh sufi yang terkenal
dengan keganjilan atau keekstriman konsep-konsepnya. Ia mengambil contoh
ungkapan keganjilan yang dibawakan oleh Al-Hallaj, “Aku Yang Maha besar”, atau
ungkapan Abu Yazid Al-Busthami, “Maha Suci Aku.” Karena mengaku “Mahasuci”,
mereka merasa tidak perlu lagi syari’at Islam. Ini pulalah yang dikatakan
“nihilisme syari’at.”
Neo-Platonisme, menurut mir Valiudin, adalah benda yang bukan merupakan satu-satunya objek mulai di anggap sebagai satu-satunya objek yang sebenarnya justru diabaikan.
Neo-Platonisme, menurut mir Valiudin, adalah benda yang bukan merupakan satu-satunya objek mulai di anggap sebagai satu-satunya objek yang sebenarnya justru diabaikan.
Ungkapan
Neo-Platonisme, “Kenalilah dirimu dengan dirimu”, diambil oleh para sufi
menjadi ungkapan, “siapa yang mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya.”
Hal ini bias jadi mengerah munculnya teori Hulul, Wahdat Asy-Syuhud, dan Wahdat
Al-Wujud. Tidak dapat disangsikan lagi bahwa cara berfikir kelompok Neo-Shopi
(Sufi berketuhanan dan filosof), seperti Al-Farabi, Ibnu Arabi, dan Al-Hallaj,
banyak dipengaruhi oleh filsafat.
d.
Unsur Persia
Sebenarnya
Arab dan Persia memiliki hubungan sejak lama, yaitu pada bidang politik,
pemikiran, kemasyarakatan dan sastra. Namun, belum ditemukan argumentasi kuat
yang menyatakan bahwa kehidupan rohani Persia telah masuk ke tanah Arab. Yang
jelas adalah kehidupan kerohanian Arab masuk ke Persia hingga orang-orang
Persia itu terkenal dengan ahli-ahli tasawuf. Barangkali ada persamaan antara
istilah zuhud di Arab dengan zuhud menurut agama Manu dan Mazdaq; antara
istilah hakikat Muhammad dengan paham Hormuz (Tuhan Kebaikan) dalam
agama Zarathustra.
Sejak zaman
klasik, bahkan hingga saat ini, terkenal sebagai wilayah yang melahirkan
sufi-sufi ternama. Dalam konsep ke-fana-an diri dalam universalitas, misalnya,
salah seorang penganjurnya adalah seorang ahli mistik dari Persia, yakni
Bayazid dari Bistam, yang telah menerima dari gurunya, Abu Ali (dari Sind).
Kebanyakan
ahli tasawuf muslim yang berpikiran moderat mengatakan bahwa faktor pertama
timbulnya tasawuf hanyalah Al-Quran dan As-Sunnah, bukan dari luar Islam.
Kesimpulannya
bahwa sebenarnya tasawuf itu bersumber dari ajaran Islam itu sendiri, mengingat
Nabi Muhammad dan para sahabatnyapun telah mempraktikkannya. Hal ini dapat
dilihat dari azas-azasnya yang banyak berlandaskan Al-Quran dan As-Sunnah. Akan
tetapi, tidak dapat dipungkiri juga bahwa setelah berkembang menjadi aliran
pemikiran (misalnya, tasawuf filsafat), tasawuf mendapat pengaruh dari budaya
filsafat yunani, hindu, Persia, dan sebagainya.
e.
Unsur Arab
Melacak
sejarah perkembangan tasawuf tidak dapat dimulai hanya ketika tasawuf mulai
dikaji sebagai sebuah ilmu. Tentunya, perlu diteliti sejak zaman Rasulullah.
Memang pada masa Rasulullah dan masa sebelum datangnya agama Islam, istilah
‘tasawuf’ itu belum ada.
Selama
Rasulullah hidup hingga kekhalifahan Abu Bakar sampai Ali (599-661 M), selalu
diadakan berbagai pertemuan yang menghasilkan sumpah atau janji setia dan
praktik ibadah tasawuf. Sikap zuhud misalnya, telah banyak ditanamkan oleh
Rasulullah dan para sahabatnya. Kalau dilihat sejarahnya, hidup zuhud ternyata
memang telah ada sebelum munculnya agama Islam ditanah Arab.
Oleh sebab itu, untuk meihat sejarah tasawuf,
perlu dilihat perkembangan peradaban Islam sejak zaman Rasulullah. Sebab pada
hakikatnya kehidupan rohani itu telah ada pada dirinya sebagai panutan umat.
Kesederhanaan hidup dan menghindari segala kemewahan sudah tumbuh sejak Islam
datang, saat Rasulullah dan sahabat-sahabatnya hidup dalam suasana
kesederhanaan. Banyak hadits dan atsar yang menerangkan tentang kehidupan Rasul
sebagai sumber pertama bagi kehidupan rohani.