Greating...

Ini merupakan suatu tempat yang mungkin sangat bermanfaat.. Kumpulan makalah-makalah dari berbagai study keilmuan yang mungkin sangat membantu dalam pekerjaan tugas-tugas Anda..

salam "Halaman_Belakank"

Sabtu, September 29, 2012

Tasawuf Kontak Kebudayaan Hindu, Persi, Yunani, dan Arab



Tasawuf yang kita temui dalam khazanah dunia Islam, dari sumber-sumber perkembangannya, ternyata memunculkan pro dan kontra, baik dikalangan muslim maupun dikalangan non-muslim. Mereka yang menganggap bahwa tasawuf Islam merupakan sebuah paham yang bersumber dari agama-agama lain.
Selanjutnya, ada beberapa pandangan tentang asal-usul tasawuf dalam konteks kebudayaan-kebudayaan luar Islam tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk melihat apakah tasawuf yang ada didunia Islam benar-benar terpengaruh oleh konteks kebudayaan tersebut atau tidak.
a.      Unsur-unsur Nasrani (Kristen)
Pertama, adanya interaksi antara orang Arab dan kaum Nasrani pada masa Jahiliah maupun zaman Islam. Kedua, adanya segi-segi kesamaan antara kehidupan para asketis atau sufi dalam hal ajaran cara mereka melatih jiwa (riyadhah) dan mengasingkan diri (khalwat) dengan kehidupan Al-Masih dan ajaran-ajarannya, serta dengan para rahib ketika sembahyang dan berpakaian.
Von Kromyer berpendapat bahwa tasawuf merupakan buah kenasranian pada zaman jahiliah. Sementara itu, Goldziher berpendapat bahwa sikap fakir dalam Islam merupakan pengaruh dari agama Nasrani. Goldziher membagi tasawuf menjadi dua: Pertama, asketisme. Menurutnya, sekalipun telah terpengaruh oleh kependetaan Kristen, aliran ini, lebih mengakar pada semangat Islam dan para Ahli Sunnah. Kedua, tasawuf dalam arti lebih jauh lagi, seperti pengenalan kepada Tuhan (Ma’rifat), pendakian batin (hal), intuisi (wijdah), dan rasa (dzauq), yang terpengaruh oleh agama Hindu disamping Neo-Platonisme.
Abu Bakar Aceh, sebagaimana dikutip Abdul Qadir Zaelani, pernah menulis bahwa agama Yahudi dan agama Kristen mempengaruhi pula cara berfikir dalam  Islam.
Pokok-pokok ajaran tasawuf yang diklaim berasal dari agama Nasrani antara lain adalah:
1.      Sikap fakir. Al-Masih adalah fakir. Injil disampaikan kepada orang fakir sebagaimana kata Isa dalam Injil Matius, “Berntunglah kamu orang-orang miskin karena bagi kamulah kerajaan Allah… Beruntunglah kamu orang yang lapar karena kamu akan kenyang.”
2.      Tawakal kepada Allah dalam soal penghidupan. Para pendeta telah mengamalkan dalam sejarah hidupnya, sebagaimana dikatan dalam Injil, “Perhatikan burung-burung dilangit, dia tidak menanam, dia tidak mengetam dan tidak duka cita pada waktu susah. Bapak kamu dari langit memberi kekutan kepadanya. Bukankah kamu lebih mulia daripada burung?”
3.      Peranan Syeikh yang menyerupai pendeta. Perbedaanya pendeta dapat menghapuskan dosa.
4.      Selibasi, yaitu menahan diri tidak menikah karena menikah dianggap dapat mengalihkan diri dari Tuhan.
5.      Penyaksian, bahwa syufi menyaksikan hakikat Allah dan mengadakan hubungan dengan Allah. Injil pun telah menerangkan terjadinya hubungan langsung dengan Tuhan.
b.      Unsur Hindu Buddha
Tasawuf dan  kepercayaan agama Hindu memiliki persamaan, seperti sikap fakir. Pada paham reinkarnasi (perpindahan roh dari satu badan kebadan lain), cara pelepasan dari dunia versi Hindu-Budha dengan persatuan diri dengan jalan mengingat Allah.
Salah satu maqamat syufiyah, yaitu al-Fana memiliki persamaan dengan ajaran tentang nirwana dalam agama Hindu. Menurut Harun Nasution, ajaran nirwana agama Budha mengajarkan umatnya untuk meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplatif. Paham fana’ yang terdapat dalam sufisme hamper serupa dengan paham nirwana.
Goldziher mengatakan bahwa ada hubungan persamaan antara tokoh Budha Sidharta Gautama dengan Ibrahim bin Adham, tokoh syufi yang muncul dalam sejarah umat Islam sebagai seorang putra mahkota dari Balkh yang kemudian mencampakkan mahkotanya dan hidup sebagai darwish.
Qamar Kailani dalam ulasannya tentang asal-usul tasawuf menolak pendapat mereka yang mengatakan tasawuf berasal dari agama Hindu-Budha. Menurutnya, pendapat ini terlalu ekstrim. Kalau diterima bahwa ajaran tasawuf itu berasal dari Hindu-Budha, berarti pada zaman Nabi Muhammad telah berkembang ajaran Hindu-Budha ke Mekkah. Padahal, sepanjang sejarah belum ada kesimpulan seperti itu.
c.       Unsur Yunani
Kebudayaan Yunani, seperti filsafat, telah masuk kedunia Islam pada akhir Daulah Umayyah dan puncaknya pada masa Daulah Abbasyiah ketika berlangsung zaman penerjemahan filsafat Yunani. Metode-metode berfikir filsafat ini juga turut mempengaruhi pola pikir sebagian orang Islam yang ingin berhubungan dengan Tuhan. Pada persoalan ini, boleh jadi tasawuf yang terkena pengaruh Yunani adalah tasawuf yang kemudian diklasifikasikan sebagai tasawuf yang bercorak filsafat.
Mungkin saja ajaran tasawuf itu dimasuki oleh paham pemikiran Yunani. Misalnya, perkataan, “Apabila sudah baik, seseorang hanya memerlukan sedikit makan. Dan apabila sudah baik, hati manusia hanya memerlukan sedikit hikmat.” Ahli-ahli sejarah, seperti Syaufan menerangkan bahwa banyak bagian dari cerita “Seribu Satu Malam” berasal dari Yahudi.
Selain itu, ada yang mengatakan bahwa masuknya filsafat kedunia Islam melalui mazhab peripatetic dan Neo-Platonisme. Mazhab yang pertama (peripatetic) kelihatannya lebih banyak masuk kedalam bentuk skolastisisme ortodoks (kalam), sedangkan untuk Neo-Platonisme lebih masuk kepada dunia tasawuf.
Filsafat emanasinya plotinus yang mengatakan bahwa wujud ini memancarkan dari Dzat Tuhan Yang Maha Esa menjadi salah satu dasar argumentasi para orientalis dalam menyikapi asal-mula tasawuf di dunia Islam. Ketika ajaran Neo-Platonisme ini berhasil menyusup kedalam tasawuf, hal yang pertama terjadi adalah penolakan terhadap “keberbedaan” benda-benda (ghairiyat) dari Allah.
Al-Ghazali menegaskan bahwa cahaya kenabian mustahil di dapat oleh sufi yang terkenal dengan keganjilan atau keekstriman konsep-konsepnya. Ia mengambil contoh ungkapan keganjilan yang dibawakan oleh Al-Hallaj, “Aku Yang Maha besar”, atau ungkapan Abu Yazid Al-Busthami, “Maha Suci Aku.” Karena mengaku “Mahasuci”, mereka merasa tidak perlu lagi syari’at Islam. Ini pulalah yang dikatakan “nihilisme syari’at.”
Neo-Platonisme, menurut mir Valiudin, adalah benda yang bukan merupakan satu-satunya objek mulai di anggap sebagai satu-satunya objek yang sebenarnya justru diabaikan.
Ungkapan Neo-Platonisme, “Kenalilah dirimu dengan dirimu”, diambil oleh para sufi menjadi ungkapan, “siapa yang mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya.” Hal ini bias jadi mengerah munculnya teori Hulul, Wahdat Asy-Syuhud, dan Wahdat Al-Wujud. Tidak dapat disangsikan lagi bahwa cara berfikir kelompok Neo-Shopi (Sufi berketuhanan dan filosof), seperti Al-Farabi, Ibnu Arabi, dan Al-Hallaj, banyak dipengaruhi oleh filsafat.
d.      Unsur Persia
Sebenarnya Arab dan Persia memiliki hubungan sejak lama, yaitu pada bidang politik, pemikiran, kemasyarakatan dan sastra. Namun, belum ditemukan argumentasi kuat yang menyatakan bahwa kehidupan rohani Persia telah masuk ke tanah Arab. Yang jelas adalah kehidupan kerohanian Arab masuk ke Persia hingga orang-orang Persia itu terkenal dengan ahli-ahli tasawuf. Barangkali ada persamaan antara istilah zuhud di Arab dengan zuhud menurut agama Manu dan Mazdaq; antara istilah hakikat Muhammad dengan paham Hormuz (Tuhan Kebaikan) dalam agama Zarathustra.
Sejak zaman klasik, bahkan hingga saat ini, terkenal sebagai wilayah yang melahirkan sufi-sufi ternama. Dalam konsep ke-fana-an diri dalam universalitas, misalnya, salah seorang penganjurnya adalah seorang ahli mistik dari Persia, yakni Bayazid dari Bistam, yang telah menerima dari gurunya, Abu Ali (dari Sind).
Kebanyakan ahli tasawuf muslim yang berpikiran moderat mengatakan bahwa faktor pertama timbulnya tasawuf hanyalah Al-Quran dan As-Sunnah, bukan dari luar Islam.
Kesimpulannya bahwa sebenarnya tasawuf itu bersumber dari ajaran Islam itu sendiri, mengingat Nabi Muhammad dan para sahabatnyapun telah mempraktikkannya. Hal ini dapat dilihat dari azas-azasnya yang banyak berlandaskan Al-Quran dan As-Sunnah. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri juga bahwa setelah berkembang menjadi aliran pemikiran (misalnya, tasawuf filsafat), tasawuf mendapat pengaruh dari budaya filsafat yunani, hindu, Persia, dan sebagainya.
e.       Unsur Arab
Melacak sejarah perkembangan tasawuf tidak dapat dimulai hanya ketika tasawuf mulai dikaji sebagai sebuah ilmu. Tentunya, perlu diteliti sejak zaman Rasulullah. Memang pada masa Rasulullah dan masa sebelum datangnya agama Islam, istilah ‘tasawuf’ itu belum ada.
Selama Rasulullah hidup hingga kekhalifahan Abu Bakar sampai Ali (599-661 M), selalu diadakan berbagai pertemuan yang menghasilkan sumpah atau janji setia dan praktik ibadah tasawuf. Sikap zuhud misalnya, telah banyak ditanamkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Kalau dilihat sejarahnya, hidup zuhud ternyata memang telah ada sebelum munculnya agama Islam ditanah Arab.
Oleh sebab itu, untuk meihat sejarah tasawuf, perlu dilihat perkembangan peradaban Islam sejak zaman Rasulullah. Sebab pada hakikatnya kehidupan rohani itu telah ada pada dirinya sebagai panutan umat. Kesederhanaan hidup dan menghindari segala kemewahan sudah tumbuh sejak Islam datang, saat Rasulullah dan sahabat-sahabatnya hidup dalam suasana kesederhanaan. Banyak hadits dan atsar yang menerangkan tentang kehidupan Rasul sebagai sumber pertama bagi kehidupan rohani.

Pembagian waris anak zina, anak lian, dan anak subhat


            Dalam pokok hukum islam sebab waris-mewarisi adalah karena hubungan perkawinan dan hubungan nasab. Seorang suami istri dapat waris mewarisi karena keduanya oleh perkawinan yang dibenarkan oleh hukum islam, sebagai hak yang diperoleh karena perkawinan tersebut. Hubungan nasab seorang anak dengan ayah dalam hukum islam juga ditentukan oleh sah dan tidaknya hubungan perkawinan antara seseorang laki-laki dengan seseorang wanita, sehingga menghasilkan anak itu di samping ada atau tidaknya pengakuan ayah terhadap anak tersebut.
A.     Anak zina
Anak Zina ialah anak yang dilahirkan karena hubungan seorang laki-laki dengan wanita tanpa nikah. Anak yang lahir karena hubungan tanpa nikah tersebut disebut “Walad Ghairu Syar’iy”, dan orang laki-laki yang menimbulkan kandungan itu disebut “Ab Ghairu Syar’iy.
            Anak Ghairu Syar’iy atau anak zina tadi tidak ada hubungan darah dengan Ab Ghairu Syar’iy menurut hukum, karena tidak ada hubungan waris-mewarisi. Anak tersebut hanya mempunyai hubungan darah dengan ibu dan antara keduanya dapat waris-mewarisi. Demikian pula anak tersebut mempunyai hubungan darah dengan kerabat ibunya. Yang berarti juga mempunyai hubungan ahli waris.
            Dengan pelaksanaan pemberian warisan pada anak tersebut ialah seperti apabila seseorang wanita meninggal dunia dan meninggalkan ahli waris :
a. Seseorang suami, yaitu A
b. Dua anak laki-laki, yaitu B dan C
c. Seorang anak laki-laki (anak zina), yaitu D
Maka pembagiannya ialah sebagai berikut :
            Suami mendapat ¼ bagian, sedang dua orang anak sebagai ‘ashabah bersama-sama dengan seorang anak laki-laki yang mendapat kwlifikasi anak Zina tersebut.
            Asal masalahnya 4, atau 24, maka bagian mereka masing-masing, seperti berikut ini :
A, mendapat 1/4 x 4 = 1, atau 1/4  x 24 = 6.
B, C, dan D, semuanya mendapat 3/4  atau 3/24, yang masing-masing mempunyai bagian yang sama, sehingga :
B = 1/4 x 4 = 1, atau 1/4 x 24 = 6.
C = 1/4 x 4 = 1, atau 1/4 x 24 = 6.
D = 1/4 x 4 = 1, atau 1/4 x 24 = 6.

Hadits riwayar Amr bin Syu’aib dar bapak dari kakeknya bahwasannya Rosululloh bersabda :
“Siapa saja lelaki yang berzina baik dengan wanita merdeka ataupun budak, maka anaknya anak zina tidak mewrisi dan tidak diwarisi.” (Shohih, lihat Shohih Turmudli 2113dan Tahqiq Misykah 3054)

Anak yang dilahirkan hasil zina, maka anak tersebut tidak mendapatkan harta waris dari laki-laki yang menzinai, dan sebaliknya. Tetapi, anak mendapatkan warisan dari ibunya dan juga sebaliknya. Alasannya, karena anak yang mendapatkan harta waris ialah anak senasab atau satu darah, lahir dengan pernikahan syar'i.
Untuk kasus zina jika orang tua/pelaku tidak mengakui bahwa anak tersebut hasil zina maka diperinci
Jika dilahirkan lebih dari enam bulan dan kurang dari empat tahun setelah akad nikahnya, maka ada dua keadaan :
1. Jika ada kemungkinan anak tersebut dari suami, karena ada hubungan badan setelah akad nikah misalnya, maka nasabnya tetap ke suami, berarti berlaku baginya hukum-hukum anak seperti hukum waris dll. Karena itu suami diharamkan meli’an istrinya atau meniadakan nasab anak tersebut darinya (tidak mengakui sebagai anaknya)

2. Jika tidak memungkinkan anak tersebut darinya seperti belum pernah ada hubungan badan semenjak akad nikah hingga melahirkan, maka nasab anak hanya ke istri bahkan wajib bagi suami meli’an dengan meniadakan nasab anak darinya (tidak mengakui sebagai anaknya). Hal ini untuk menjaga agar tidak terjadi hak waris kepada anak.

* Jika dilahirkan kurang dari enam bulan atau lebih dari empat tahun, maka anak tersebut tidak bisa dinasabkan kepada suami dan tidak wajib bagi suami untuk meli’an istrinya. Bagi anak tidak berhak mendapatkan waris karena tidak ada sebab-sebab yang mendukung hubungan nasab.

B.     Anak Li’an
Kata li’an menurut bahasa berarti alla’nu bainatsnaini fa sha’idan (saling melaknat yang terjadi di antara dua orang atau lebih). Sedang, menurut istilah syar’i, li’an ialah sumpah dengan redaksi tertentu yang diucapkan suami bahwa isterinya telah berzina atau ia menolak bayi yang lahir dari isterinya sebagai anak kandungnya, dan kemudian sang isteri pun bersumpah bahwa tuduhan suaminya yang dialamatkan kepada dirinya itu bohong. (Pengertian ini dikutip dari kitab al-Mugashshal fi Ahkamil Mar-ah Wal Baitil Muslim Fisy Syari’atil Islamiyah VIII: 320-321, terbitan Muassasah Risalah Beirut oleh Prof. Dr. Abdul Karim Zaidan).
Apabila seorang laki-laki menuduh isterinya berbuat serong dengan laki-laki lain, kemudian isterinya menganggap bahwa tuduhannya bohong, maka pihak suami harus dijatuhi hukuman dera, kecuali dia mempunyai bukti yang kuat atau melakukan li’an. “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.” (QS An-Nuur: 6-9).
Dari Ibnu Abbas r.a bahwa Hilal bin Umayyah r.a pernah menuduh isterinya berzina dengan Syarik bin Sahma' di hadapan Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Kemudian Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Kamu harus dapat membuktikan, atau (kalau tidak) hukuman had menimpa punggungmu.” Lalu dia berkata, “Ya Rasulullah, jika seorang di antara kami telah melihat seorang laki-laki berada di atas isterinya, masihkah dituntut untuk pergi mencari bukti?” maka Beliau pun bersabda, “Kamu harus dapat membuktikan, dan jika tidak maka hukuman had di punggungmu.” Hilal berkata, “Demi dzat yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran, sesungguhnya saya benar-benar jujur. Maka saya harap sudi kiranya Allah menurunkan ayat Qur’an yang bisa membebaskan punggungku dari hukum dera.” Maka turunlah Malaikat Jibril dan menyampaikan wahyu kepada Beliau, WALLADZIINA YARMUUNA AZWAAJAHUM (dan orang-orang yang menuduh istri-isterinya) sampai padat IN KAANA MINASH SHAADIQIN (jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar). Kemudian Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam beranjak dari tempatnya sambil menyuruh Hilal menemui isterinya. Kemudian Hilal datang (lagi) kepada Beliau, lalu memberikan kesaksian, lantas Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah tahu bahwa seorang di antara kamu berdua ini ada yang bohong. Adakah di antara kalian berdua ini yang mau bertaubat?” Kemudian isterinya bangun lalu memberikan kesaksiannya. Maka tatkala ia hendak mengucapkan sumpah yang kelima, maka orang-orang menghentikannya (agar tidak jadi mengucapkan sumpah kelima), dan mereka berkata, “Sesungguhnya perempuan ini wajib dijatuhi hukuman.” Ibnu Abbas berkata, “Lalu ia (isterinya itu) pelan-pelan mundur hingga kami menduga ia akan segera kembali.” Kemudian ia berkata, "Aku tidak akan membuat malu kaumku sepanjang hari." Kemudian terus berlalu begitu. Lantas Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Perhatikan dia, jika dia datang dengan membawa bayi yang juling matanya, besar pinggulnya, dan kedua betisnya besar juga maka ia(bayi itu) milik Syarik bin Sahma’.” Ternyata dia datang persis yang disabdakan Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Kemudian Beliau bersada, “Kalaulah tidak ada ketetapan di dalam Kitabullah, sudah barang tentu saya punya urusan dengan dia.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2098, Fathul Bari VIII: 449 no: 4747, ’Aunul Ma’bud VI: 341 no: 2237, Tirmidzi V: 12 no: 3229 dan Ibnu Majah I: 668 no: 2067).

2.  HUKUM-HUKUM YANG MENIMPA ORANG YANG MELAKUKAN LI’AN

Apabila suami isteri melakukan mula’anah atau li’an, maka berlakukan pada keduanya hukum-hukum berikut ini :

Keduanya harus diceraikan, berdasarkan hadist:

Dari Ibnu Umar r.a , ia berkata, “Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam memutuskan hukum di antara seorang suami dan isteri dari kaum Anshar, dan menceraikan antara keduanya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX: 458 no: 5314, Muslim II: 1133 no: 9 dan 1494).

Keduanya haram ruju’ untuk selama-lamanya.

Dari Sahl bin Sa’d ra, ia berkata, “Telah berlaku sunnah Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam tentang suami isteri yang saling bermula’anah dimana mereka diceraikan antara keduanya, kemudian mereka tidak (boleh) ruju’ buat selama-lamanya.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2104 dan 'Aunul Ma'bud VI: 337 no: 2233 serta Baihaqi VII: 410).

Wanita yang bermula’anah berhak memiliki mahar

Dari Ayyub bin Sa’id bin Jubair, ia bercerita: Saya pernah bertanya kepada Ibnu Umar ra, "(Wahai Ibnu Umar), bagaimana kedudukan seorang suami yang menuduh isterinya berbuat serong?" Jawab Ibnu Umar, “Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam pernah menceraikan antara dua orang yang bersaudara (yaitu suami isteri) dari Bani ’Ajlan, dan Beliau bersabda (kepada keduanya), “Allah mengetahui bahwa seorang di antara kalian berdua pasti berbohong, karena itu adakah di antara kalian yang mau bertaubat?” Ternyata mereka berdua enggan (memenuhi tawaran Beliau). Nabi bersabda lagi, “Allah mengetahui bahwa salah seorang di antara kalian berdua pasti bohong, karena itu, adakah di antara kalian yang mau bertaubat?” Ternyata mereka enggan, lalu Nabi pun bersabda, “Allah mengetahui bahwa salah seorang di antara kalian berdua pasti bohong, karena itu adakah di antara kalian yang mau bertaubat?” Namun mereka berdua enggan (untuk memenuhi tawaran Beliau). Maka selanjutnya Beliau menceraikan antara keduanya.” Ayyub berkata, “Kemudian Amr bin Dinar mengatakan kepadaku, ‘Sesungguhnya di dalam hadist tersebut ada sebagian yang saya perhatikan belum engkau sampaikan, yaitu laki-laki yang bermula’anah itu menanyakan, “Mana hartaku (maharku)?” Dijawab (oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam), “Tidak ada harta (mahar) bagimu. Jika kamu jujur, berarti kamu sudah pernah bercampur dengannya; jika kamu bohong, maka ia (mahar) itu kian jauh darimu.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX: 456 no: 5311, Muslim II: 1130 no: 1493, ‘Aunul Ma’bud VI: 347 no: 2240 dan 2241, Nasa’i VI: 177).

Anak yang lahir dari isteri yang bermula’anah, harus diserahkan kepada sang isteri (ibunya).

Dari Ibnu Umar r.a ia berkata, “Sesungguhnya Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam pernah memutuskan untuk mula’anah antara seorang suami dengan isterinya kemudian ia (suami) dipisahkan dari anaknya, lantas Beliau menceraikan antara mereka berdua, kemudian anak itu Rasulullah serahkan kepada isterinya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX: 460 no: 5315, Muslim II: 1132 no: 1494, ‘Aunul Ma’bud VI: 348 no: 2242, Tirmidzi II: 338 no: 1218, Nasa’i VI: 178 dan Ibnu Majah I: 669 no: 2069).

Isteri yang bermula’anah berhak menjadi ahli waris anaknya dan begitu juga sebaliknya.

Dari Ibnu Syihab dalam hadist Sahl bin Sa’ad, ia berkata “Menurut Sunnah Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, sesudah suami isteri yang bermula’anah dicerai, padahal sang isteri hamil maka anaknya dinisbatkan kepada ibunya. Kemudian sunnah Beliau Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam berlaku mengenai hak warisnya, dimana ia (ibu tersebut) berhak menjadi ahli waris anaknya dan anaknya pun berhak menjadi ahli warisnya sesuai apa yang telah Allah tetapkan untuknya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari 1X: 452 no: 5309, Muslim II: 1129 no: 1492 dan ‘Aunul Ma’bud VI: 339 no: 2235).

Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil