Dalam pokok hukum islam sebab
waris-mewarisi adalah karena hubungan perkawinan dan hubungan nasab. Seorang
suami istri dapat waris mewarisi karena keduanya oleh perkawinan yang
dibenarkan oleh hukum islam, sebagai hak yang diperoleh karena perkawinan tersebut.
Hubungan nasab seorang anak dengan ayah dalam hukum islam juga ditentukan oleh
sah dan tidaknya hubungan perkawinan antara seseorang laki-laki dengan
seseorang wanita, sehingga menghasilkan anak itu di samping ada atau tidaknya
pengakuan ayah terhadap anak tersebut.
A. Anak
zina
Anak
Zina ialah anak yang dilahirkan karena hubungan seorang laki-laki dengan wanita
tanpa nikah. Anak yang lahir karena hubungan tanpa nikah tersebut disebut
“Walad Ghairu Syar’iy”, dan orang laki-laki yang menimbulkan kandungan itu
disebut “Ab Ghairu Syar’iy.
Anak Ghairu Syar’iy atau anak zina
tadi tidak ada hubungan darah dengan Ab Ghairu Syar’iy menurut hukum, karena
tidak ada hubungan waris-mewarisi. Anak tersebut hanya mempunyai hubungan darah
dengan ibu dan antara keduanya dapat waris-mewarisi. Demikian pula anak
tersebut mempunyai hubungan darah dengan kerabat ibunya. Yang berarti juga
mempunyai hubungan ahli waris.
Dengan pelaksanaan pemberian warisan
pada anak tersebut ialah seperti apabila seseorang wanita meninggal dunia dan
meninggalkan ahli waris :
a.
Seseorang suami, yaitu A
b.
Dua anak laki-laki, yaitu B dan C
c.
Seorang anak laki-laki (anak zina), yaitu D
Maka
pembagiannya ialah sebagai berikut :
Suami mendapat ¼ bagian, sedang dua
orang anak sebagai ‘ashabah bersama-sama dengan seorang anak laki-laki yang
mendapat kwlifikasi anak Zina tersebut.
Asal masalahnya 4, atau 24, maka
bagian mereka masing-masing, seperti berikut ini :
A,
mendapat 1/4 x 4 = 1, atau 1/4 x 24 = 6.
B,
C, dan D, semuanya mendapat 3/4 atau
3/24, yang masing-masing mempunyai bagian yang sama, sehingga :
B
= 1/4 x 4 = 1, atau 1/4 x 24 = 6.
C
= 1/4 x 4 = 1, atau 1/4 x 24 = 6.
D
= 1/4 x 4 = 1, atau 1/4 x 24 = 6.
Hadits riwayar Amr bin Syu’aib dar
bapak dari kakeknya bahwasannya Rosululloh bersabda :
“Siapa saja lelaki yang berzina baik
dengan wanita merdeka ataupun budak, maka anaknya anak zina tidak mewrisi dan
tidak diwarisi.” (Shohih, lihat Shohih Turmudli 2113dan Tahqiq Misykah 3054)
Anak yang dilahirkan hasil zina,
maka anak tersebut tidak mendapatkan harta waris dari laki-laki yang menzinai,
dan sebaliknya. Tetapi, anak mendapatkan warisan dari ibunya dan juga
sebaliknya. Alasannya, karena anak yang mendapatkan harta waris ialah anak
senasab atau satu darah, lahir dengan pernikahan syar'i.
Untuk kasus zina jika orang tua/pelaku tidak
mengakui bahwa anak tersebut hasil zina maka diperinci
Jika
dilahirkan lebih dari enam bulan dan kurang dari empat tahun setelah akad
nikahnya, maka ada dua keadaan :
1. Jika ada kemungkinan anak
tersebut dari suami, karena ada hubungan badan setelah akad nikah misalnya,
maka nasabnya tetap ke suami, berarti berlaku baginya hukum-hukum anak seperti
hukum waris dll. Karena itu suami diharamkan meli’an istrinya atau meniadakan
nasab anak tersebut darinya (tidak mengakui sebagai anaknya)
2. Jika tidak memungkinkan anak
tersebut darinya seperti belum pernah ada hubungan badan semenjak akad nikah
hingga melahirkan, maka nasab anak hanya ke istri bahkan wajib bagi suami
meli’an dengan meniadakan nasab anak darinya (tidak mengakui sebagai anaknya).
Hal ini untuk menjaga agar tidak terjadi hak waris kepada anak.
* Jika dilahirkan kurang dari enam
bulan atau lebih dari empat tahun, maka anak tersebut tidak bisa dinasabkan
kepada suami dan tidak wajib bagi suami untuk meli’an istrinya. Bagi anak tidak
berhak mendapatkan waris karena tidak ada sebab-sebab yang mendukung hubungan
nasab.
B.
Anak
Li’an
Kata li’an
menurut bahasa berarti alla’nu bainatsnaini fa sha’idan (saling melaknat yang
terjadi di antara dua orang atau lebih). Sedang, menurut istilah syar’i, li’an
ialah sumpah dengan redaksi tertentu yang diucapkan suami bahwa isterinya telah
berzina atau ia menolak bayi yang lahir dari isterinya sebagai anak kandungnya,
dan kemudian sang isteri pun bersumpah bahwa tuduhan suaminya yang dialamatkan
kepada dirinya itu bohong. (Pengertian ini dikutip dari kitab al-Mugashshal fi
Ahkamil Mar-ah Wal Baitil Muslim Fisy Syari’atil Islamiyah VIII: 320-321,
terbitan Muassasah Risalah Beirut oleh Prof. Dr. Abdul Karim Zaidan).
Apabila
seorang laki-laki menuduh isterinya berbuat serong dengan laki-laki lain,
kemudian isterinya menganggap bahwa tuduhannya bohong, maka pihak suami harus
dijatuhi hukuman dera, kecuali dia mempunyai bukti yang kuat atau melakukan
li’an. “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak
ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu
ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk
orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya,
jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari
hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu
benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa
laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.” (QS
An-Nuur: 6-9).
Dari Ibnu
Abbas r.a bahwa Hilal bin Umayyah r.a pernah menuduh isterinya berzina dengan
Syarik bin Sahma' di hadapan Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.
Kemudian Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Kamu harus dapat
membuktikan, atau (kalau tidak) hukuman had menimpa punggungmu.” Lalu dia
berkata, “Ya Rasulullah, jika seorang di antara kami telah melihat seorang
laki-laki berada di atas isterinya, masihkah dituntut untuk pergi mencari
bukti?” maka Beliau pun bersabda, “Kamu harus dapat membuktikan, dan jika tidak
maka hukuman had di punggungmu.” Hilal berkata, “Demi dzat yang telah
mengutusmu dengan membawa kebenaran, sesungguhnya saya benar-benar jujur. Maka
saya harap sudi kiranya Allah menurunkan ayat Qur’an yang bisa membebaskan
punggungku dari hukum dera.” Maka turunlah Malaikat Jibril dan menyampaikan
wahyu kepada Beliau, WALLADZIINA YARMUUNA AZWAAJAHUM (dan orang-orang yang
menuduh istri-isterinya) sampai padat IN KAANA MINASH SHAADIQIN (jika suaminya
itu termasuk orang-orang yang benar). Kemudian Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi
Wasallam beranjak dari tempatnya sambil menyuruh Hilal menemui isterinya.
Kemudian Hilal datang (lagi) kepada Beliau, lalu memberikan kesaksian, lantas
Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
“Sesungguhnya
Allah tahu bahwa seorang di antara kamu berdua ini ada yang bohong. Adakah di
antara kalian berdua ini yang mau bertaubat?” Kemudian isterinya bangun lalu
memberikan kesaksiannya. Maka tatkala ia hendak mengucapkan sumpah yang kelima,
maka orang-orang menghentikannya (agar tidak jadi mengucapkan sumpah kelima),
dan mereka berkata, “Sesungguhnya perempuan ini wajib dijatuhi hukuman.” Ibnu
Abbas berkata, “Lalu ia (isterinya itu) pelan-pelan mundur hingga kami menduga
ia akan segera kembali.” Kemudian ia berkata, "Aku tidak akan membuat malu
kaumku sepanjang hari." Kemudian terus berlalu begitu. Lantas Nabi
Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Perhatikan dia, jika dia datang
dengan membawa bayi yang juling matanya, besar pinggulnya, dan kedua betisnya
besar juga maka ia(bayi itu) milik Syarik bin Sahma’.” Ternyata dia datang
persis yang disabdakan Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Kemudian
Beliau bersada, “Kalaulah tidak ada ketetapan di dalam Kitabullah, sudah barang
tentu saya punya urusan dengan dia.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2098, Fathul
Bari VIII: 449 no: 4747, ’Aunul Ma’bud VI: 341 no: 2237, Tirmidzi V: 12 no:
3229 dan Ibnu Majah I: 668 no: 2067).
2. HUKUM-HUKUM YANG MENIMPA ORANG YANG MELAKUKAN LI’AN
Apabila suami isteri melakukan mula’anah atau li’an, maka berlakukan pada keduanya hukum-hukum berikut ini :
Keduanya harus diceraikan, berdasarkan hadist:
Dari Ibnu Umar r.a , ia berkata, “Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam memutuskan hukum di antara seorang suami dan isteri dari kaum Anshar, dan menceraikan antara keduanya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX: 458 no: 5314, Muslim II: 1133 no: 9 dan 1494).
Keduanya haram ruju’ untuk selama-lamanya.
Dari Sahl bin Sa’d ra, ia berkata, “Telah berlaku sunnah Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam tentang suami isteri yang saling bermula’anah dimana mereka diceraikan antara keduanya, kemudian mereka tidak (boleh) ruju’ buat selama-lamanya.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2104 dan 'Aunul Ma'bud VI: 337 no: 2233 serta Baihaqi VII: 410).
Wanita yang bermula’anah berhak memiliki mahar
Dari Ayyub bin Sa’id bin Jubair, ia bercerita: Saya pernah bertanya kepada Ibnu Umar ra, "(Wahai Ibnu Umar), bagaimana kedudukan seorang suami yang menuduh isterinya berbuat serong?" Jawab Ibnu Umar, “Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam pernah menceraikan antara dua orang yang bersaudara (yaitu suami isteri) dari Bani ’Ajlan, dan Beliau bersabda (kepada keduanya), “Allah mengetahui bahwa seorang di antara kalian berdua pasti berbohong, karena itu adakah di antara kalian yang mau bertaubat?” Ternyata mereka berdua enggan (memenuhi tawaran Beliau). Nabi bersabda lagi, “Allah mengetahui bahwa salah seorang di antara kalian berdua pasti bohong, karena itu, adakah di antara kalian yang mau bertaubat?” Ternyata mereka enggan, lalu Nabi pun bersabda, “Allah mengetahui bahwa salah seorang di antara kalian berdua pasti bohong, karena itu adakah di antara kalian yang mau bertaubat?” Namun mereka berdua enggan (untuk memenuhi tawaran Beliau). Maka selanjutnya Beliau menceraikan antara keduanya.” Ayyub berkata, “Kemudian Amr bin Dinar mengatakan kepadaku, ‘Sesungguhnya di dalam hadist tersebut ada sebagian yang saya perhatikan belum engkau sampaikan, yaitu laki-laki yang bermula’anah itu menanyakan, “Mana hartaku (maharku)?” Dijawab (oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam), “Tidak ada harta (mahar) bagimu. Jika kamu jujur, berarti kamu sudah pernah bercampur dengannya; jika kamu bohong, maka ia (mahar) itu kian jauh darimu.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX: 456 no: 5311, Muslim II: 1130 no: 1493, ‘Aunul Ma’bud VI: 347 no: 2240 dan 2241, Nasa’i VI: 177).
Anak yang lahir dari isteri yang bermula’anah, harus diserahkan kepada sang isteri (ibunya).
Dari Ibnu Umar r.a ia berkata, “Sesungguhnya Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam pernah memutuskan untuk mula’anah antara seorang suami dengan isterinya kemudian ia (suami) dipisahkan dari anaknya, lantas Beliau menceraikan antara mereka berdua, kemudian anak itu Rasulullah serahkan kepada isterinya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX: 460 no: 5315, Muslim II: 1132 no: 1494, ‘Aunul Ma’bud VI: 348 no: 2242, Tirmidzi II: 338 no: 1218, Nasa’i VI: 178 dan Ibnu Majah I: 669 no: 2069).
Isteri yang bermula’anah berhak menjadi ahli waris anaknya dan begitu juga sebaliknya.
Dari Ibnu Syihab dalam hadist Sahl bin Sa’ad, ia berkata “Menurut Sunnah Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, sesudah suami isteri yang bermula’anah dicerai, padahal sang isteri hamil maka anaknya dinisbatkan kepada ibunya. Kemudian sunnah Beliau Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam berlaku mengenai hak warisnya, dimana ia (ibu tersebut) berhak menjadi ahli waris anaknya dan anaknya pun berhak menjadi ahli warisnya sesuai apa yang telah Allah tetapkan untuknya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari 1X: 452 no: 5309, Muslim II: 1129 no: 1492 dan ‘Aunul Ma’bud VI: 339 no: 2235).
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil
Tidak ada komentar:
Posting Komentar