Bab II
Pembahasan
A. Pengertian Bunuh Diri
Bunuh diri
adalah perbuatan menghentikan hidup sendiri yang dilakukan oleh individu itu
sendiri atau atas permintaannya. Pada
dasarnya, segala sesuatu itu memiliki hubungan sebab akibat (ini adalah
sistematika). Dalam hubungan sebab akibat ini akan menghasilkan suatu alasan
atau sebab tindakan yang disebut motif.
Motif bunuh diri ada banyak
macamnya. Disini penyusun menggolongkan dalam kategori sebab, misalkan :
·
Dilanda
keputusasaan dan depresi
·
Cobaan hidup
dan tekanan lingkungan.
·
Gangguan
kejiwaan / tidak waras (gila).
·
Himpitan
Ekonomi atau Kemiskinan (Harta / Iman / Ilmu)
·
Penderitaan
karena penyakit yang berkepanjangan.
Dalam ilmu sosiologi, ada tiga penyebab bunuh diri
dalam masyarakat, yaitu
·
egoistic
suicide (bunuh diri karena urusan pribadi),
·
altruistic
suicide (bunuh diri untuk memperjuangkan orang lain), dan
·
anomic
suicide (bunuh diri karena masyarakat dalam kondisi kebingungan).
B. Pandangan
Islam Tentang Bunuh Diri
Syekh
Muhammad Yusuf Qardhawi, seorang ulama terkemuka dunia, berpendapat tentang
bunuh diri, bahwa sesungguhnya kehidupan manusia bukan menjadi hak milik
pribadi sebab dia tidak dapat membuat dirinya, anggotanya, ataupun sel-selnya.
Diri manusia pada hakikatnya hanyalah sebagai barang titipan yang diberikan
Allah. Oleh karena itu, tidak boleh titipan ini diabaikannya, apalagi
memusuhinya atau melepaskannya dari hidup.
Allah SWT
berfirman:
$ygr'¯»t
úïÏ%©!$#
(#qãYtB#uä w (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& cqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 wur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJÏmu ÇËÒÈ
Artinya: ”Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara
kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu.” ( Q.S An-Nissa: 29)
Ada beberapa
hadist pula yang menyebutkan bahwa bunuh diri itu merupakan suatu tindakan yang
salah, diantaranya yaitu:
1.
Dari
Abu Hurairah ra, katanya Rasulullah saw., bersabda : “Siapa yang bunuh
diri dengan senjata tajam, maka senjata itu akan ditusuk-tusukannya sendiri
dengan tangannya ke perutnya di neraka untuk selama-lamanya; dan siapa yang
bunuh diri dengan racun, maka dia akan meminumnya pula sedikit demi sedikit
nanti di neraka, untuk selama-lamanya; dan siapa yang bunuh diri dengan
menjatuhkan diri dari gunung, maka dia akan menjatuhkan dirinya pula nanti
(berulang-ulang) ke neraka, untuk selama-lamanya.”
2.
Dari
Tsabit bin Dhahhak ra, dari Nabi saw., sabdanya : “Tidak wajib bagi seseorang
melaksanakan nazar apabila dia tidak sanggup melaksanakannya.” “Mengutuk orang
Mu’min sama halnya dengan membunuhnya.” “Mengadakan tuduhan bohong atau sumpah
palsu untuk menambah kekayaannya dengan menguasai harta orang lain, maka Allah
tidak akan menambah baginya, bahkan akan mengurangi hartanya.”
3.
Dari
Tsabit bin Dhahhak ra, katanya Nabi saw., sabdanya : “Siapa yang bersumpah
menurut cara suatu agama selain Islam, baik sumpahnya itu dusta maupun sengaja,
maka orang itu akan mengalami sumpahnya sendiri. “Siapa yang bunuh diri dengan
suatu cara, Allah akan menyiksanya di neraka jahanam dengan cara itu pula.”
4.
Dari
Abu Hurairah ra, katanya : “Kami ikut perang bersama-sama Rasulullah saw.,
dalam perang Hunain. Rasulullah saw., berkata kepada seorang laki-laki yang
mengaku Islam, “Orang ini penghuni neraka.” Ketika kami berperang, orang itu
pun ikut berperang dengan gagah berani, sehingga dia terluka. Maka dilaporkan
orang hal itu kepada Rasulullah saw., katanya “Orang yang tadi anda katakan
penghuni neraka, ternyata dia berperang dengan gagah berani dan sekarang dia
tewas.” Jawab Nabi saw., “Dia ke neraka.” Hampir saja sebahagian kaum muslimin
menjadi ragu-ragu. Ketika mereka sedang dalam keadaan demikian, tiba-tiba
diterima berita bahwa dia belum mati, tetapi luka parah. Apabila malam telah
tiba, orang itu tidak sabar menahan sakit karena lukanya itu. Lalu dia bunuh
diri. Peristiwa itu dilaporkan orang pula kepada Nabi saw. Nabi saw.,
bersabda, : “Kemudian beliau memerintahkan Bilal supaya menyiarkan kepada
orang banyak, bahwa tidak akan dapat masuk surga melainkan orang muslim (orang
yang tunduk patuh).
5. Dari Syaiban ra., katanya
dia mendengar Hasan ra, bercerita : “Masa dulu, ada seorang laki-laki
keluar bisul. Ketika ia tidak dapat lagi menahan sakit, ditusuknya bisulnya itu
dengan anak panah, menyebabkan darah banyak keluar sehingga ia meninggal. Lalu
Tuhanmu berfirman : Aku haramkan baginya surga.” (Karena dia sengaja
bunuh diri.) Kemudian Hasan menunjuk ke masjid sambil berkata, “Demi Allah!
Jundab menyampaikan hadits itu kepadaku dari Rasulullah saw., di dalam masjid
ini.”
C. Pengertian Euthanasia
Euthanasia
berasal dari kata eu berarti baik, dan thanatos artinya mati.
Maksudnya adalah mengakhiri hidup dengan cara yang mudah tanpa rasa sakit. Oleh
karena itu, euthanasia sering disebut juga dengan mercy killing
(mati dengan tenang)[1].
Dilihat dari
segi orang yang berkehendak, euthanasia bisa muncul dari keinginan pasien
sendiri, permintaan dari keluarga dengan persetujuan pasien (bila pasien masih
sadar), atau tanpa persetujuan pasien (bila pasien sudah tidak sadar). Tetapi
tidak pernah di temukan tindakan authanasia yang dikehendaki oleh dokter tanpa
persetujuan pasien ataupun pihak keluarga, karma hal ini berkait dengan kode
etik kedokteran.
Dilihat dari
kondisi pasien, tindakan euthanasia bias dikategorikan menjadi dua macam, yaitu
aktif dan pasif . Euthanasia aktif adalah suatu tindakan mempercepat proses kematian,
baik dengan memberikan suntikan ataupun melepaskan alat-alat pembantu
medika,seperti sebagainya. Yang termasuk tindakan mempercepat proses kematian
di sini adalah jika kondisi pasien, berdasarkan ukuran dan pengalalman medis
masih menunjukan adanya harapan hidup. Dengan kata lain, tanda-tanda kehidupan
masih terdapat pada penderita ketika tindakan itu dilakukan. Apalagi jika
penderita ketika itu masih sadar.
Sedangkan
yang dimaksud dengan euthanasia pasif adalah suatu tindakan membiarkan pasien atau
penderita yang dalam keadaan tidak sadar (comma), berdasarkan pengalaman
maupun ukuran medis sudah tidak ada harapan hidup, atau tanda-tanda kehidupan
tidak terdapat lagi padanya, mungkin karena salah satu organ pentingnya sudah
rusak atau lemah, seperti bocornya pembuluh darah yang menghubungkan ke otak (stroke)
akibat tekanan darah yang terlalu tinggi, tidak berfungsinya jantung dan
sebagainya. Kondisi seperti sering disebut dengan “fase antara“,yang dikalangan
masyarakat umum diistilahkan dengan “antara hidup dan mati.“
D. Pandangan
Islam Tentang Euthanasia
Parah tokoh
Islam di Indonesia sangat menentang dilakukannya euthanasia. Prof. Dr. Amir
syarifuddin menyebutkan bahwa pembunuhan untuk menghilangkan penderita si
sakit, sama dengan larangan Allah membunuh anak untuk tujuan menghilangkan
kemiskinan[2]. Tindakan dokter dengan
memberi obat atau suntikan dengan sengaja untuk mengakhiri hidup pasien adalah
termasuk pembunuhan disengaja.
Ia berarti
mendahului takdir Tuhan, meskipun niatnya adalah untuk melepaskan penderitaan
pasien atau juga melepaskan tanggungan keluarga. Akan tetapi apabila dokter
tidak lagi memberi pasien obat, karena yakin obat yang ada sudah tidak bisa
menolong, atau sekalian mengizinkan si pasien di bawa pulang, andaikata pasien
itu meninggal, maka sikap dokter itu tidaklah termasuk perbuatan pembunuhan.
K.H Syukron
Makmun juga berpendapat bahwa kematian itu adalah urusan Allah, manusia tidak
mengetahui kapan kematian itu akan menimpa dirinya. Soal sakit, menderita dan
tidak kunjung sembuh adalah qudratullah. Kewajiban kita hanya
berikhtiar. Mempercepat kematian tidak dibenarkan. Tugas dokter adalah
menyembuhkan, bukan membunuh. Kalau dokter tidak sanggup kembalikan kepada
keluarga.
Jadi apapun
alasanya, apabila tindakan itu berupa euthanasia aktif, yang berarti suatu
tindakan mengakhiri hidup manusia pada saat yang bersangkutan masih menunjukan
adanya tanda-tanda kehidupan, Islam mengharamkanya.
Sedangkan
terhadap euthanasia pasif, para ahli, baik dari kalangan kedokteran, ahli hukum
pidana, maupun para ulama sepakat membolehkanya.
E. Euthanasia
Menurut KUHP Dan Kode Etik Kedokteran
Di dalam
pasal 344 KUHP dinyatakan: “Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas
permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sunguh-sunguh,
dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.[3]” Berdasarkan pasal ini,
seorang dokter bisa dituntut oleh penegak hukum, apabila ia melakukan
euthanasia, walaupun atas permintaan pasien dan keluarga yang bersangkutan,
karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum.
Hanya saja
isi pasal 344 KUHP itu masih mengandung masalah. Sebagai terlihat pada pasal
itu, bahwa permintaan menghilangkan nyawa itu harus disebut dengan nyata dan
sungguh-sungguh. Maka bagaimanakah pasien yang sakit jiwa, anak-anak, atau
penderita yang sedang comma. Mereka itu tidaklah mungkin membuat
pernyataan secara tertulis sebagai tanda bukti sungguh-sungguh. Sekiranya
euthanasia dilakukan juga, mungkin saja dokter atau keluarga terlepas dari
tuntutan pasal 344 itu, tetapi ia tidak bias melepaskan diri dari tuntutan
pasal 388 yang berbunyi: “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang
lain, dihukum, karena makar mati, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima
belas tahun.” Dokter melakukan tindakan euthanasia (aktif khususnya), bisa
diberhantikan dari jabatannya, karena melanggar etik kedokteran.
Di dalam
Kode Etik Kedokteran yang ditetapkan Mentri Kesehatan Nomor:
434/Men.Kes./SK/X/1983 disebutkan pada pasal 10: “Setiap dokter harus
senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi hidup makhluk insani.”
Kemudian di dalam penjelasan pasal 10 itu dengan tegas disebutkan bahwa naluri
yang kuat pada setiap makhluk yang bernyawa, termasuk manusia ialah
mempertahankan hidupnya. Usaha untuk itu merupakan tugas seorang dokter. Dokter
harus berusaha memelihara dan mempertahankan hidup makhluk insani, berarti
bahwa baik menurut agama dan undang-undang Negara, maupun menurut Etika
Kedokteran, seorang dokter tidak dibolehkan:
a)
Menggugurkan kandungan (abortus
provocatus).
b)
Mengakhiri hidup seseorang
penderita, yang menurut ilmu dan pengalaman tidak mungkin akan sembuh lagi
(euthanasia)[4].
Jadi sangat
tegas, para dokter di Indinesia dilarang melakukan euthanasia. Di dalam kode
etika itu tersirat suatu pengertian, bahwa seorang dokter harus mengerahkan
segala kepandaiannya dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan
memelihara hidup manusia (pasien), tetapi tidak untuk mengakhirinya.
Bab III
Penutup
Kesimpulan
Dari pemaparan makalah di
atas dapat ditarik kesimpulan di antaranya adalah:
1. Bunuh
diri merupakan suatu tindakan yang tidak baik dan sangat tidak terpuji baik
menurut pandangan islam mau pun menurut pandangan sosial atau moral.
2. Ada
banyak motiv seseorang melakukan tindakan bunuh diri.
3. Yang
berhak mengakhiri hidup seseorang hanya Allah SWT. Oleh karena itu, orang yang
mengakhiri hidup dengan cara atau alas an yang bertentangan dengan ketentuan
Agama (Laisa bi al-haq), seperti Euthanasia Aktif adalah perbuatan bunuh diri,
yang diharamkan dan diancam Allah dengan hukuman neraka selama-lamanya.
4. Euthana
Aktif tetap dilarang, baik dilihat dari segi kode etik kedokteran,
undang-undang hukum pidana, lebih-lebih menurut islam yang menghukuminya haram.
5. Euthanasia
Pasif diperbolehkan, yaitu sepanjang kondisi utama penderita sudah tidak ada
harapan untuk hidup, bisa dikatakan berada pada fase “di antara hidup dan
mati”.
DAFTAR
PUSTAKA
Fauzi Aseri,
Akhmad. 2002. Problematika Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: Pustaka
Firdaus.
http://abrahamzakky.blogspot.com/2009/02/bunuh-diri-dan-euthanasia-oleh-abraham.html di akses pada tanggal 13 Maret 2012
http://id.wikipedia.org/wiki/Bunuh_diri di akses pada tanggal 13
Maret 2012
http://mbegedut.blogspot.com/2011/04/makalah-eutanasia-euthanasia-menurut.html di akses pada tanggal 13 Maret
2012
Keputusan Mentri Kesehatan RI nomor
: 434/Men.Kes/SK/X/1983 Tentang, belakunya kode etik kedokteran indonesia
bagi para dokter indonesia, Jakarta:yayasan penerbit Ikatan Dokter
Indonesia, 1988.
T.Erwan,Cs.
1979. Himpunan Undang-undang dan Peraturan-peraturan Hukum Pidana.
Jakarta: Aksara Baru
Van Hoeve, Eksiklopedia Indonesia,
Vol 2, Topik Euthanasia, Jakarta, Ikhtiar Baru, 1987
Yusuf Qardhawi, Muhammad. 2007. Halal dan Haram Dalam Islam.
Surabaya: PT. Bina Ilmu
[1] Van Hoeve, Eksiklopedia Indonesia, Vol 2, Topik
Euthanasia, Jakarta, Ikhtiar Baru, 1987, hal 978
[2] http://mbegedut.blogspot.com/2011/04/makalah-eutanasia-euthanasia-menurut.html di akses
pada tanggal 13 Maret 2012
[3] Drs.T.Erwan,Cs.
Himpunan Undang-undang dan Peraturan-peraturan Hukum Pidana, Jakarta,
Aksara Baru, 1979, hal 137
[4] Keputusan Mentri Kesehatan RI nomor :
434/Men.Kes/SK/X/1983 Tentang, belakunya kode etik kedokteran indonesia bagi
para dokter indonesia, Jakarta:yayasan penerbit Ikatan Dokter Indonesia,
1988, Hal 392
syukron jazilan, izin kopi juga yaa
BalasHapus