Greating...

Ini merupakan suatu tempat yang mungkin sangat bermanfaat.. Kumpulan makalah-makalah dari berbagai study keilmuan yang mungkin sangat membantu dalam pekerjaan tugas-tugas Anda..

salam "Halaman_Belakank"

Senin, Maret 04, 2013

EUTANASIA DAN BUNUH DIRI DALAM PANDANGAN FIQH ISLAM


    
Bab II
Pembahasan

A.     Pengertian Bunuh Diri
Bunuh diri adalah perbuatan menghentikan hidup sendiri yang dilakukan oleh individu itu sendiri atau atas permintaannya. Pada dasarnya, segala sesuatu itu memiliki hubungan sebab akibat (ini adalah sistematika). Dalam hubungan sebab akibat ini akan menghasilkan suatu alasan atau sebab tindakan yang disebut motif.
Motif bunuh diri ada banyak macamnya. Disini penyusun menggolongkan dalam kategori sebab, misalkan :
·         Dilanda keputusasaan dan depresi
·         Cobaan hidup dan tekanan lingkungan.
·         Gangguan kejiwaan / tidak waras (gila).
·         Himpitan Ekonomi atau Kemiskinan (Harta / Iman / Ilmu)
·         Penderitaan karena penyakit yang berkepanjangan.
Dalam ilmu sosiologi, ada tiga penyebab bunuh diri dalam masyarakat, yaitu
·         egoistic suicide (bunuh diri karena urusan pribadi),
·         altruistic suicide (bunuh diri untuk memperjuangkan orang lain), dan
·         anomic suicide (bunuh diri karena masyarakat dalam kondisi kebingungan).

B.     Pandangan Islam Tentang Bunuh Diri
Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi, seorang ulama terkemuka dunia, berpendapat tentang bunuh diri, bahwa sesungguhnya kehidupan manusia bukan menjadi hak milik pribadi sebab dia tidak dapat membuat dirinya, anggotanya, ataupun sel-selnya. Diri manusia pada hakikatnya hanyalah sebagai barang titipan yang diberikan Allah. Oleh karena itu, tidak boleh titipan ini diabaikannya, apalagi memusuhinya atau melepaskannya dari hidup.


Allah SWT berfirman:
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã  <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 Ÿwur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJŠÏmu ÇËÒÈ
Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” ( Q.S An-Nissa: 29)
Ada beberapa hadist pula yang menyebutkan bahwa bunuh diri itu merupakan suatu tindakan yang salah, diantaranya yaitu:
1.      Dari Abu Hurairah ra, katanya Rasulullah saw., bersabda : “Siapa yang bunuh diri dengan senjata tajam, maka senjata itu akan ditusuk-tusukannya sendiri dengan tangannya ke perutnya di neraka untuk selama-lamanya; dan siapa yang bunuh diri dengan racun, maka dia akan meminumnya pula sedikit demi sedikit nanti di neraka, untuk selama-lamanya; dan siapa yang bunuh diri dengan menjatuhkan diri dari gunung, maka dia akan menjatuhkan dirinya pula nanti (berulang-ulang) ke neraka, untuk selama-lamanya.”
2.      Dari Tsabit bin Dhahhak ra, dari Nabi saw., sabdanya : “Tidak wajib bagi seseorang melaksanakan nazar apabila dia tidak sanggup melaksanakannya.” “Mengutuk orang Mu’min sama halnya dengan membunuhnya.” “Mengadakan tuduhan bohong atau sumpah palsu untuk menambah kekayaannya dengan menguasai harta orang lain, maka Allah tidak akan menambah baginya, bahkan akan mengurangi hartanya.”
3.      Dari Tsabit bin Dhahhak ra, katanya Nabi saw., sabdanya : “Siapa yang bersumpah menurut cara suatu agama selain Islam, baik sumpahnya itu dusta maupun sengaja, maka orang itu akan mengalami sumpahnya sendiri. “Siapa yang bunuh diri dengan suatu cara, Allah akan menyiksanya di neraka jahanam dengan cara itu pula.”
4.      Dari Abu Hurairah ra, katanya : “Kami ikut perang bersama-sama Rasulullah saw., dalam perang Hunain. Rasulullah saw., berkata kepada seorang laki-laki yang mengaku Islam, “Orang ini penghuni neraka.” Ketika kami berperang, orang itu pun ikut berperang dengan gagah berani, sehingga dia terluka. Maka dilaporkan orang hal itu kepada Rasulullah saw., katanya “Orang yang tadi anda katakan penghuni neraka, ternyata dia berperang dengan gagah berani dan sekarang dia tewas.” Jawab Nabi saw., “Dia ke neraka.” Hampir saja sebahagian kaum muslimin menjadi ragu-ragu. Ketika mereka sedang dalam keadaan demikian, tiba-tiba diterima berita bahwa dia belum mati, tetapi luka parah. Apabila malam telah tiba, orang itu tidak sabar menahan sakit karena lukanya itu. Lalu dia bunuh diri. Peristiwa itu dilaporkan orang pula kepada Nabi saw. Nabi saw., bersabda, : “Kemudian beliau memerintahkan Bilal supaya menyiarkan kepada orang banyak, bahwa tidak akan dapat masuk surga melainkan orang muslim (orang yang tunduk patuh).
5.      Dari Syaiban ra., katanya dia mendengar Hasan ra, bercerita : “Masa dulu, ada seorang laki-laki keluar bisul. Ketika ia tidak dapat lagi menahan sakit, ditusuknya bisulnya itu dengan anak panah, menyebabkan darah banyak keluar sehingga ia meninggal. Lalu Tuhanmu berfirman : Aku haramkan baginya surga.” (Karena dia sengaja bunuh diri.) Kemudian Hasan menunjuk ke masjid sambil berkata, “Demi Allah! Jundab menyampaikan hadits itu kepadaku dari Rasulullah saw., di dalam masjid ini.”

C.        Pengertian Euthanasia
Euthanasia berasal dari kata eu berarti baik, dan thanatos artinya mati. Maksudnya adalah mengakhiri hidup dengan cara yang mudah tanpa rasa sakit. Oleh karena itu, euthanasia sering disebut juga dengan mercy killing (mati dengan tenang)[1].
Dilihat dari segi orang yang berkehendak, euthanasia bisa muncul dari keinginan pasien sendiri, permintaan dari keluarga dengan persetujuan pasien (bila pasien masih sadar), atau tanpa persetujuan pasien (bila pasien sudah tidak sadar). Tetapi tidak pernah di temukan tindakan authanasia yang dikehendaki oleh dokter tanpa persetujuan pasien ataupun pihak keluarga, karma hal ini berkait dengan kode etik kedokteran.
Dilihat dari kondisi pasien, tindakan euthanasia bias dikategorikan menjadi dua macam, yaitu aktif dan pasif . Euthanasia aktif adalah suatu tindakan mempercepat proses kematian, baik dengan memberikan suntikan ataupun melepaskan alat-alat pembantu medika,seperti sebagainya. Yang termasuk tindakan mempercepat proses kematian di sini adalah jika kondisi pasien, berdasarkan ukuran dan pengalalman medis masih menunjukan adanya harapan hidup. Dengan kata lain, tanda-tanda kehidupan masih terdapat pada penderita ketika tindakan itu dilakukan. Apalagi jika penderita ketika itu masih sadar.
Sedangkan yang dimaksud dengan euthanasia pasif adalah suatu tindakan membiarkan pasien atau penderita yang dalam keadaan tidak sadar (comma), berdasarkan pengalaman maupun ukuran medis sudah tidak ada harapan hidup, atau tanda-tanda kehidupan tidak terdapat lagi padanya, mungkin karena salah satu organ pentingnya sudah rusak atau lemah, seperti bocornya pembuluh darah yang menghubungkan ke otak (stroke) akibat tekanan darah yang terlalu tinggi, tidak berfungsinya jantung dan sebagainya. Kondisi seperti sering disebut dengan “fase antara“,yang dikalangan masyarakat umum diistilahkan dengan “antara hidup dan mati.“
D.     Pandangan Islam Tentang Euthanasia
Parah tokoh Islam di Indonesia sangat menentang dilakukannya euthanasia. Prof. Dr. Amir syarifuddin menyebutkan bahwa pembunuhan untuk menghilangkan penderita si sakit, sama dengan larangan Allah membunuh anak untuk tujuan menghilangkan kemiskinan[2]. Tindakan dokter dengan memberi obat atau suntikan dengan sengaja untuk mengakhiri hidup pasien adalah termasuk pembunuhan disengaja.
Ia berarti mendahului takdir Tuhan, meskipun niatnya adalah untuk melepaskan penderitaan pasien atau juga melepaskan tanggungan keluarga. Akan tetapi apabila dokter tidak lagi memberi pasien obat, karena yakin obat yang ada sudah tidak bisa menolong, atau sekalian mengizinkan si pasien di bawa pulang, andaikata pasien itu meninggal, maka sikap dokter itu tidaklah termasuk perbuatan pembunuhan.
K.H Syukron Makmun juga berpendapat bahwa kematian itu adalah urusan Allah, manusia tidak mengetahui kapan kematian itu akan menimpa dirinya. Soal sakit, menderita dan tidak kunjung sembuh adalah qudratullah. Kewajiban kita hanya berikhtiar. Mempercepat kematian tidak dibenarkan. Tugas dokter adalah menyembuhkan, bukan membunuh. Kalau dokter tidak sanggup kembalikan kepada keluarga.
Jadi apapun alasanya, apabila tindakan itu berupa euthanasia aktif, yang berarti suatu tindakan mengakhiri hidup manusia pada saat yang bersangkutan masih menunjukan adanya tanda-tanda kehidupan, Islam mengharamkanya.
Sedangkan terhadap euthanasia pasif, para ahli, baik dari kalangan kedokteran, ahli hukum pidana, maupun para ulama sepakat membolehkanya.
E.     Euthanasia Menurut KUHP Dan Kode Etik Kedokteran
Di dalam pasal 344 KUHP dinyatakan: “Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sunguh-sunguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.[3]” Berdasarkan pasal ini, seorang dokter bisa dituntut oleh penegak hukum, apabila ia melakukan euthanasia, walaupun atas permintaan pasien dan keluarga yang bersangkutan, karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum.
Hanya saja isi pasal 344 KUHP itu masih mengandung masalah. Sebagai terlihat pada pasal itu, bahwa permintaan menghilangkan nyawa itu harus disebut dengan nyata dan sungguh-sungguh. Maka bagaimanakah pasien yang sakit jiwa, anak-anak, atau penderita yang sedang comma. Mereka itu tidaklah mungkin membuat pernyataan secara tertulis sebagai tanda bukti sungguh-sungguh. Sekiranya euthanasia dilakukan juga, mungkin saja dokter atau keluarga terlepas dari tuntutan pasal 344 itu, tetapi ia tidak bias melepaskan diri dari tuntutan pasal 388 yang berbunyi: “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena makar mati, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.” Dokter melakukan tindakan euthanasia (aktif khususnya), bisa diberhantikan dari jabatannya, karena melanggar etik kedokteran.
Di dalam Kode Etik Kedokteran yang ditetapkan Mentri Kesehatan Nomor: 434/Men.Kes./SK/X/1983 disebutkan pada pasal 10: “Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi hidup makhluk insani.” Kemudian di dalam penjelasan pasal 10 itu dengan tegas disebutkan bahwa naluri yang kuat pada setiap makhluk yang bernyawa, termasuk manusia ialah mempertahankan hidupnya. Usaha untuk itu merupakan tugas seorang dokter. Dokter harus berusaha memelihara dan mempertahankan hidup makhluk insani, berarti bahwa baik menurut agama dan undang-undang Negara, maupun menurut Etika Kedokteran, seorang dokter tidak dibolehkan:
a)      Menggugurkan kandungan (abortus provocatus).
b)      Mengakhiri hidup seseorang penderita, yang menurut ilmu dan pengalaman tidak mungkin akan sembuh lagi (euthanasia)[4].
Jadi sangat tegas, para dokter di Indinesia dilarang melakukan euthanasia. Di dalam kode etika itu tersirat suatu pengertian, bahwa seorang dokter harus mengerahkan segala kepandaiannya dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan memelihara hidup manusia (pasien), tetapi tidak untuk mengakhirinya.


Bab III
Penutup

Kesimpulan
Dari pemaparan makalah di atas dapat ditarik kesimpulan di antaranya adalah:
1.      Bunuh diri merupakan suatu tindakan yang tidak baik dan sangat tidak terpuji baik menurut pandangan islam mau pun menurut pandangan sosial atau moral.
2.      Ada banyak motiv seseorang melakukan tindakan bunuh diri.
3.      Yang berhak mengakhiri hidup seseorang hanya Allah SWT. Oleh karena itu, orang yang mengakhiri hidup dengan cara atau alas an yang bertentangan dengan ketentuan Agama (Laisa bi al-haq), seperti Euthanasia Aktif adalah perbuatan bunuh diri, yang diharamkan dan diancam Allah dengan hukuman neraka selama-lamanya.
4.      Euthana Aktif tetap dilarang, baik dilihat dari segi kode etik kedokteran, undang-undang hukum pidana, lebih-lebih menurut islam yang menghukuminya haram.
5.      Euthanasia Pasif diperbolehkan, yaitu sepanjang kondisi utama penderita sudah tidak ada harapan untuk hidup, bisa dikatakan berada pada fase “di antara hidup dan mati”.


DAFTAR PUSTAKA

Fauzi Aseri, Akhmad. 2002. Problematika Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: Pustaka Firdaus.
http://id.wikipedia.org/wiki/Bunuh_diri di akses pada tanggal 13 Maret 2012
Keputusan Mentri Kesehatan RI nomor : 434/Men.Kes/SK/X/1983 Tentang, belakunya kode etik kedokteran indonesia bagi para dokter indonesia, Jakarta:yayasan penerbit Ikatan Dokter Indonesia, 1988.
T.Erwan,Cs. 1979. Himpunan Undang-undang dan Peraturan-peraturan Hukum Pidana. Jakarta: Aksara Baru
Van Hoeve, Eksiklopedia Indonesia, Vol 2, Topik Euthanasia, Jakarta, Ikhtiar Baru, 1987
Yusuf Qardhawi, Muhammad. 2007. Halal dan Haram Dalam Islam. Surabaya: PT. Bina Ilmu


[1]  Van Hoeve, Eksiklopedia Indonesia, Vol 2, Topik Euthanasia, Jakarta, Ikhtiar Baru, 1987, hal 978
[3]  Drs.T.Erwan,Cs. Himpunan Undang-undang dan Peraturan-peraturan Hukum Pidana, Jakarta, Aksara Baru, 1979, hal 137
[4]  Keputusan Mentri Kesehatan RI nomor : 434/Men.Kes/SK/X/1983 Tentang, belakunya kode etik kedokteran indonesia bagi para dokter indonesia, Jakarta:yayasan penerbit Ikatan Dokter Indonesia, 1988, Hal 392

1 komentar: